ALIH FUNGSI HARTA WAKAF DAN ALIH NAMA YAYASAN
MENURUT
HUKUM
ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG
PERWAKAFAN
Oleh : Yus Maulana Azdy
A. Pendahuluan
Islam
mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan
umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk
penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk
tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Beberapa
rumusan definisi yang dikemukakan oleh ulama lain juga mengacu kepada maksud
dan tujuan yang sama dengan rumusan di atas. Sudut dan persepsi penekanan
rumusan-rumusan tersebut adalah menyangkut filosofis pensyari’atan wakaf yang
bertujuan untuk memberikan alternatif kehidupan sosial lebih baik kepada mauquf
‘alaih (penerima wakaf).
Aplikasi
rumusan wakaf yang dapat diamati di tengah masyarakat bahwa pelaksanaannya
kurang mengacu kepada asas manfaat sesungguhnya. Pemahaman manfaat’ atas harta
wakaf hanya dipahami secara parsial, sebatas manfaat yang melekat dengan harta
tersebut. Konsekuensi pemahaman dimaksud mengakibatkan suatu saat harta wakaf
menjadi tak berdaya guna, karena terpaku kepada manfaat yang ternyata telah
hilang.
Mengantisipasi
hal ini, Kompilasi Hukum Islam telah memberanikan diri untuk membuka kemungkinan
dialihfungsikannya harta wakaf yang ternyata manfaatnya tidak dapat dirasakan
lagi oleh masyarakat.
Ketentuan
tentang kemungkinan pengalihfungsian harta wakaf ini dapat dilihat dalam pasal
225 Kompilasi Hukum Islam. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa pada dasarnya
terhadap harta yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau
penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Sedangkan dalam ayat
(2) ditegaskan, penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan
saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan: a) Karena
tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif, b) Karena
kepentingan umum.
Terhadap
jaminan kemungkinan pengalihfungsian ini perlu ditela’ah lebih jauh, baik dari
tataran dalil pensyariatannya ataupun dari sudut diskursus yang pernah
diapungkan oleh para ulama klasik.
Diskursus
yang berkembang di tengah para ulama menyangkut persoalan pengalihfungsian ini
tak dapat dilepaskan dari hadis Rasulullah SAW. yang berbunyi:
حدثنا قتيبة بن
سعيد حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال أنبأني نافع عن ابن عمر
رضي الله عنهما أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم
يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه
فما تأمر به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا
يوهب ولا يورث وتصدق بها … (رواه البخارى(
“Menceritakan
kepada kami Qutaibah ibn Said, menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abdullah
al-Anshari, menceritakan kepada kami Ibnu Aun, bahwa dia berkata, Nafi’ telah
menceritakan kepadaku Ibn Umar R.A., ia berkata, bahwa Umar ibn al-Khaththab
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menemui Rasulullah SAW. untuk
mohon petunjuk. Umar berkata : “Ya Rasulullah, saya mendapatkan harta sebaik
itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah bersabda: “Bila
engkau mau engkau dapat menahan fisik tanah itu, lalu sedekahkan manfaatnya.
Kemudian Umar mensedekahkan manfaat (tanah itu), dia tidak menjual, tidak
menghibahkan dan tidak mewariskannya. (H.R al-Bukhari).
Hadis
di atas menjelaskan bahwa fisik harta yang diwakafkan tidak dapat
di-tasharruf-kan. Hak sosial dari harta tersebut hanya menyangkut manfaat yang
ada pada harta tersebut. Hanya saja sebagian ulama mencoba memberikan penalaran
akan terbukanya kemungkinan mengalihfungsikan harta yang telah diwakafkan ke
bentuk baru dengan manfaat yang lebih terukur.
Sejauh
diskursus yang berkembang di kalangan ulama, kelompok Hanafi merupakan kelompok
yang paling membuka peluang pengalihfungsian harta wakaf ini. Akan tetapi
mereka tetap mengecualikan terhadap wakaf bangunan yang diperuntukan sebagai
sarana ibadah (mesjid atau mushalla) dan dalam rangka mencari dan menghasilkan
manfaat yang lebih baik.
Perbincangan
fuqaha’ menyangkut pemanfaatan harta wakaf sampai pada tataran diskursus
tentang menjual dan mengganti harta wakaf. Tetapi, telaahan terhadap
pengalihfungsian harta wakaf dimaksud perlu dikaji ulang untuk
mensinkronisasikan dengan keadaan kekinian. Oleh karena itu kajian terhadap
persoalan ini sangat penting untuk dikaji ulang dari sudut dimensi hukum Islam
dan undang-undang perwakafan.
Bagaimana
pandangan Hukum Islam dan undang-undang perwakafan tentang pengalihfungsian
harta wakaf?
B. Pembahasan wakaf
1. Pengertian Wakaf
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia wakaf diberi arti: tanah negara yang
tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda
bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai
pemberian yang ikhlas; hadiah atau pemberian yang bersifat suci.
Pengertian wakaf menurut Hukum Islam dari para Fuqaha 4
madzhab, yaitu:
a. Menurut Ulama
Hanafiyyah: Menahan
benda yang statusnya tetap milik si wakif dan yang disedekahkan adalah
manfaatnya saja.
b. Menurut Ulama
Malikiyyah: Menjadikan
manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuik
diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh yang mewakafkan.
c. Menurut Ulama
Syafi’iyyah: Menahan
harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu
lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang
diperbolehkan oleh agama.
d. Menurut Ulama
Hanabilah: Menahan
kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan
tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya dimanfaatkan pada suatu kebaikan
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dari pengertian di atas ada dua kesimpulan,
1. Bahwa benda wakaf tidak mengakibatkan barang yang
diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif,
Sedangkan
pengertian wakaf menurut Undang-undang perwakafan, yaitu:
a. Menurut Peraturan Perundang-undangan (PP) 28 Tahun 1977: Perbutan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
kekayaannyayang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam.
b. Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004:
Perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanaya atau jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.
c. Menurut
UU Nomor 3 Tahun 2006: Perbuatan seseorang atau sekelompok
orang (Wakif) untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagaian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentusesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah..
d. Menurut
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ): Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagaian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.
Pengertian wakaf yang ada di Indonesia sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh
Madzhab Syafi’i dan Hambali.
Cakupan wakaf yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 lebih sempit dibanding
dengan cakupan yang diatur dalam UU Nomor 3 tahun 2006 dan KHI. Menurut PP 28
Tahun 1977 benda yang diwakafkan hanya sebatas tanah milik, sedangkan menurut
aturan selainnya benda yang diwakafkan tidak hanya sebatas tanah milik tetapi
juga harta benda lainnya.
2. Dasar Hukum
Wakaf
a. Al Qur’an
1) Surat
Al Baqarah ayat 267, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari sebagian dari apa
yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya pada hal kamu sendiri tidak mau
memgambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
2) Surat Ali Imran
ayat 96, “Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu manafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
3) Surat
Al Maidah ayat 2, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan ketaqwaan”.
4) Surat
Al Hajj ayat 77, “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Rabmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan
kemenangan”.
b.
Al Sunnah hadits
Riwayat dari Ibnu Umar r.a, “Diiriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, bahwa Umar
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia pergi kepada Rasilullah SAW
seraya berkata: Saya mendapatkan bagian tanah yang belum pernah saya dapatkan
harta yang paling saya sayangi sebelumnya dari harta itu. Apakah yang akan Nabi
peintahkan kepada saya? Rasulullah menjawab: Jika Engkau mau tahanlah dzat
bendanya dan sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar menyedekahkan dan (menyuruh)supaya
tidak dijual, dihibahkan dan diwariskan sedangkan manfaat benda itu diberikan
kepada fuqara’, sanak kerabat, hamba sahaya, sabilillah tamu dan pelancong.
Sdan idak ada dosa bagi yang mengurusi harta tersebut makan secara wajar atau
meberi makan kepada temannya dengan tidak bermaksud memilikinya.
Azhar Basyir memberikan komentar terhadap hadits tersebut yang diantara
maksudnya adalah: Harta wakaf
tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, baik dengan diperjual belikan,
diwariskan, maupun dihibahkan;
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah
dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh
karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur
tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah
menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-undang nomor 41 tahun 2004.
3. Macam-macam Wakaf
1. Wakaf Ahli atau
wakaf Dzurri,
disebut demikian karena wakaf
ini ditujukan kepada orang-orang tertentu, baik seorang atau lebih atau baik
keluarga si wakif sendiri atau bukan.
2. Wakaf Khairi,
adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama
atau kemasyarakatan, seperti wakaf yang diserahkan untuk kepentingan
pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim,
dan lain-lain.
4. Rukun Wakaf
a. Rukun wakaf menurut
Hukum Islam ada 4 macam, yaitu:
1) Wakif,
yaitu orang yang berwakaf.
2) Maukuf bih, yaitu barang
yang diwakafkan.
3) Maukuf ‘alaih, yaitu pihak
yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf.
4) Shighat, yaitu pernyataan
atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk
b. Sedangkan rukun wakaf
menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 ada 6, empat yang sudah diterangkan diatas
kemudian ditambah lagi 2 yaitu:
1) Peruntukan harta benda wakaf.
dan
5. Syarat Wakaf
a. Syarat Wakif menurut Hukum Islam
adalah: merdeka,
berakal sehat,
dewasa,
tidak berada di bawah
pengampuan. Sedangkan syarat menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 adalah: dewasa, barakal sehat, tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum, dan pemilik sah harta wakaf.
Syarat
tersebut adalah bagi wakif yang
bersifat perorangan tapi wakif juga
bisa berupa
organisasi dan badan badan hukum. Jika wakif berupa
organisasi UU menyerahkan persyaratan wakif kepada anggaran dasar organisasi
yang besangkutan tapi jika wakif berupa badan hukum UU menyerahkan persyaratan
wakif kepada ketentuan badan hukum.
b.
Syarat Maukuf bih (Benda yang diwakafkan): Harus mempunyai nilai/berguna,
benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan, benda yang
diwakafkan harus diketahui ketika diakadkan, benda yang diwakafkan telah
menjadi milik tetap si wakif ketika diakadkan.
Sedangkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, barang yang diwakafkan hanya diberikan
ketentuan yang bersifat umum yaitu bahwa harta benda tersebut harus dimiliki
dan dikuasai wakif secara sah. Hanya saja mengenai
jenis dan macamnya telah disebut secara limitatif.
c. Syarat Maukuf Alaih (tujuan wakaf) adalah dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan
diperbolehkan menurut Syari’at Islam.
1) Sarana ibadah dan kegiatan ibadah;
2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantas, yatim piatu, bea siswa;
4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.
5) Kemajauan
kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syari’ah dan peraturan
perundang-undangan.
d. Syarat Sighat akad adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang
berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Oleh
karena wakaf merupakan salah satu bentuk tasharruf/tabarru” maka sudah dinggap
selesai dengan adanya ijab saja meskipun tidak diikuti dengan qabul dari
penerima wakaf.
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, rukun dan syarat wakaf memang tidak dirinci
sebagaimana dalam fiqih. Sebab, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa:
“Wakaf sah apabila dilaksanakan
menurut syari’ah”. Dengan
demikian, UU tetap memberikan kewenangan terhadap syari’at Islam untuk menilai
keabsahan pelaksanaan wakaf, termasuk dalam hal syarat dan rukun wakaf ini.
6. Alih Fungsi harta wakaf
Pengalihan harta wakaf berarti menjual atau menukar. Mengenai hal ini juga
telah menjadi perdebatan para ulama fuqaha. Perbedaan tersebut berangkat dari
adanya hadits qauly yang disampaikan oleh rasulullah ketika awal disyariatkannya lembaga wakaf.
Rasulullah bersabda: “ Tanah wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh
diwariskan, dan tidak pula dihibahkan”.
Dalam memahami hadits tersebut secara garis besar terdapat dua kelompok
pendapat.
Pertama, yang
mamahmi secara harfiyah. Menurut pendapat ini wakaf tidak boleh dipejual
belikan atau ditukarkan atau diubah. Konsekuensinya, menurut pendapat ini
masjid atau peralatan masjid sebagai wakaf meskipun sudah tidak dapat
digunakan, tidak boleh dijual atau ditukarkan. Menjual atau menukarkan harta
wakaf berarti memutuskan harta wakaf. Si wakif hanya mendapat aliran pahala
wakafnya dari benda yang diwakafkannya, bukan dari benda lain tukarannya.Yang
berpendapat seperti ini antara lain sebagian pengikut Imam malik dan sebagian
pengikut Imam Syafi’i.
Kedua, yang
memahami secara substansial. Menurut pendapat ini larangan menjual harta wakaf
dalam hadits itu hanyalah bagi harta wakaf yang masih dapat dimanfaatkan suatu
kebutuhan. Adapun harta wakaf yang sudah tua atau hampir tidak dapat
dimanfaatkan lagi boleh dijual dan uangnya dibelikan lagi penggantinya.
Pendapat seperti ini dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hambal.
Adapun menukar harta wakaf untuk diwakafkan juga, selain wakaf masjid, menurut
segolongan pengikut Imam Ahmad diperbolehkan. Sedangkan untuk wakaf masjid yang
masih dapat dipergunakan menurut riwayat Imam Ahmad tersebut terdapat dua
pendapat, yaitu ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Ibnu
Taimiyah memilih pendapat yang membolehkan.
Pada dasarnya wakaf adalah abadi dan untuk kesejahteraan.
Pada prinsipnya, Wakaf tidak boleh diwariskan, tidak boleh dijual dan tidak
boleh dihibahkan. Menurut Imam Syafi’i, harta wakaf selamanya tidak boleh
ditukarkan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, harta benda wakaf dapat ditukar
jika harta wakaf tersebut sudah tidak dapat dikelola sesuai peruntukan kecuali
dengan ditukar atau karena kemaslahatan umum dan ibadah.
Sedangkan menurut Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang
wakaf, Pasal 40 bahwa harta benda wakaf tidak dapat dijadikan jaminan, disita,
dihibahkan, dijual, diwariskan, dan ditukar. Pasal 41 menjelaskan
perubahan status wakaf atau penukaran harta wakaf dapat dilakukan apabila harta
benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai
dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang
Nomor 41 tentang wakaf bahwa harta benda wakaf tidak dapat ditukarkan kecuali
karena alasan rencana umum tata ruang (RUTR), harta benda wakaf tidak dapat
dipergunakan sesuai ikrar wakaf, atau pertukaran dilakukan untuk keperluan
keagamaan secara langsung dan mendesak. Harta benda wakaf yang telah dirubah
statusnya wajib ditukar dengan dengan harta benda yang bermanfaat dan nilai
tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Penukaran dapat
dilakukan oleh Menteri Agama RI setelah mendapat rekomendasi dari pemerintah
daerah kabupate/kota, kantor pertanahan kabupaten/kota, Majelis Ulama Indonesia
kabupaten/kota, kontor Departemen Agama Kabupaten/kota, dan Nazhir tanah wakaf
yang bersangkutan.
Dalam kasus pengalihan
tempat asrama mahasiswa Sunan Giri Rawamangun tidak menyalahi aturan hukum
Islam dan undang-undang perwakafan di Indonesia terbukti disana hanya mengganti
bentuk dan substansi harta wakaf ke bentuk yang baru, karena bentuk dan
substansi yang lama tetap masih status harta wakaf hanya saja tujuan dan
fungsinya dirubah supaya lebih bermanfaat dan berguna dan lebih memberikan
pahala bagi wakif dan pengelolanya yang semula fungsinya untuk tempat tinggal
dirubah ke fungsi tempat pendidikan yang lebih bermanfaat.
Tempat
asrama mahasiswa Sunan Giri Rawamangun yang lama masih tetap bangunannya dan
tetap dipergunakan dengan lebih bermanfaat dan tidak dijual atau ditukar yang
tidak diperbolehkan oleh hukum Islam dan undang-undang perwakafan nomor 41 tahun
2004, Pasal 40 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan
undang-undang Nomor 41 yang sudah
diterangkan diatas hanya pengurus atau pengelola membangunkan tempat yang baru
yang dipergunakan sebagai asrama atau tempat tinggal sebagai fungsi harta wakaf yang lama. Dan juga asrama mahasiswa Sunan Giri
Rawamangun adalah harta wakaf yang berupa bangunan tempat tinggal bukan
bangungan masjid, mushola atau harta
wakaf yang menjadi jaminan, disita, dihibahkan, diwariskan, hanya perubahan fungsi
yang digunakan untuk kepentingan umum dan agama serta tidak bertentangan dengan
syariah.
C. Pembahasan yayasan
1. Pengertian Yayasan
Menurut Undang-Undang
RI No. 16 Tahun 2001, definisi Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
Sedangkan definisi yang baru, Yayasan
adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial,
keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal
yang ditentukan dalam undang-undang. Di Indonesia, yayasan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan. Rapat paripurna DPR pada tanggal 7 September
2004 menyetujui undang-undang ini, dan Presiden RI Megawati Soekarnoputri
mengesahkannya pada tanggal 6 Oktober 20
2.
Manfaat
Yayasan
a. Mendapat perlindungan hukum
berdasarkan undang-undang.
b. Memiliki kejelasan aturan
organisasi yang tertuang dalam Anggaran Dasar.
c. Menambah rasa percaya diri para aktivisnya dalam berhubungan dengan pihak lain.
d. Memudahkan pihak lain yang akan berhubungan dengan organisasi tersebut.
e. Memberikan rasa kepercayaan kepada pihak-pihak yang bersimpati.
f. Memungkinkan pengembangan usaha organisasi secara lebih luas.
g. Apabila timbul permasalahan atau konflik dapat diselesaikan secara hukum dengan
c. Menambah rasa percaya diri para aktivisnya dalam berhubungan dengan pihak lain.
d. Memudahkan pihak lain yang akan berhubungan dengan organisasi tersebut.
e. Memberikan rasa kepercayaan kepada pihak-pihak yang bersimpati.
f. Memungkinkan pengembangan usaha organisasi secara lebih luas.
g. Apabila timbul permasalahan atau konflik dapat diselesaikan secara hukum dengan
aturan undang-undang dan peraturan pemerintah
yang jelas.
3. Yayasan sebagai
Suatu Badan Hukum yang Legal
Yayasan sebagai salah satu bentuk badan hukum adalah sangat penting sekali bagi organisasi.
Setiap lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO),
misalnya: lembaga kemasjidan, da’wah, pendidikan, kajian, sosial, advokasi dan
yang sejenisnya, perlu mendirikan Yayasan sebagai sarana formal dalam melakukan
tindakan hukum para aktivisnya. Dengan adanya Yayasan, Pengurus organisasi
dapat bertransaksi, membuat perjanjian dan kerja sama, berhubungan dengan
instansi pemerintah, swasta atau perorangan yang memerlukan aspek legalitas.
Untuk mendirikan Yayasan, diperlukan minimal seorang Pendiri
atau beberapa orang menghadap Notaris
untuk mendapatkan Akta Notaris dengan menyertakan konsep akta pendirian
Yayasan. Setelah dilakukan penyesuaian seperlunya terhadap peraturan perundang-undangan
dan peraturan pemerintah yang berlaku, Notaris atas nama Pendiri mengajukan
permohonan pengesahan akta tersebut ke pemerintah, dalam hal ini Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Dengan adanya pengesahan akta pendirian
Yayasan oleh pemerintah, berarti Yayasan Islam tersebut telah memiliki landasan
yang kuat sebagai badan hukum.
Untuk mendirikan Yayasan di Indonesia harus mengacu pada aturan
yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2001 Tentang
Yayasan dan perubahannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun
2004 maupun peraturan pemerintah yang berkaitan dengan keduanya.
Adapun yang diperlukan dalam Pendirian yayasan yaitu:
1.Musyawarah
pembentukan Yayasan.
2.Draft Anggaran Dasar Yayasan.
3.Mengajukan Draft Akta Yayasan atau Anggaran Dasar ke Notaris.
4.Mengajukan pengesahan akta pendirian Yayasan.
5.Menerima dan memastikan keabsahan (legalitas) akta pendirian Yayasan.
4. Yayasan sebagai Usaha Nirlaba/Non Profit
3.Mengajukan Draft Akta Yayasan atau Anggaran Dasar ke Notaris.
4.Mengajukan pengesahan akta pendirian Yayasan.
5.Menerima dan memastikan keabsahan (legalitas) akta pendirian Yayasan.
4. Yayasan sebagai Usaha Nirlaba/Non Profit
Adalah
suatu Yayasan yang bersasaran pokok untuk mendukung rencana atau tujuan yang
tidak komersil, tanpa ada rencana atau tujuan terhadap hal-hal yang bersifat
mencari laba (moneter). Yayasan nirlaba meliputi Yayasan Yatim Piatu, Yayasan
Pondok Pesantren, Yayasan Pendidikan Islam, dan lain sebagainya.
5. Yayasan sebagai Badan Usaha Profit
Yayasan
adalah lembaga yang sifatnya nirlaba. Tetapi yayasan dapat membentuk badan
usaha yang sifatnya laba/provite hal ini tertera dalam UU nomor 16 tahun 2001, pasal
3:
(1)
Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk
menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha
dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.
(2)
Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam
berbagai bentuk usaha yang bersifat
prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
Jadi
Yayasan boleh mendirikan badan usaha, dan ada baiknya mempelajari undang2
tentang yayasan.
6. Perbedaan organisasi nirlaba dengan organisasi laba
Hal yang membedakan antara Yayasan nirlaba dengan Yayasan
laba. Dalam hal kepemilikan, tidak jelas siapa sesungguhnya ’pemilik’ Yayasan
nirlaba, apakah anggota, klien, atau donatur. Pada Yayasan laba, pemilik jelas
memperoleh untung dari hasil usahanya. Dalam hal donatur, Yayasan nirlaba
membutuhkannya sebagai sumber pendanaan. Berbeda dengan Yayasan laba yang telah
memiliki sumber pendanaan yang jelas, yakni dari keuntungan usahanya. Dalam hal
penyebaran tanggung jawab, pada yayasan laba telah jelas siapa yang menjadi
Dewan Komisaris, yang kemudian memilih seorang Direktur Pelaksana. Sedangkan
pada yayasan nirlaba, hal ini tidak mudah dilakukan. Anggota Dewan Komisaris
bukanlah ’pemilik’ yayasan.
7.
Alih
Nama Yayasan
Tentang perubahan nama atau balik nama yang
dilakukan oleh asrama mahasiswa
Sunan Giri Rawamangun
yang semula namanya Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI) menjadi Yayasan Asrama
dan Pendidikan Islam (YAPI) diperbolehkan tapi dalam proses perubahan nama dari
yang lama ke nama yang baru harus sesuai dengan pedoman yang ada dalam hukum
Islam dan undang-undang yayasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor
63 Tahun 2008 tentang pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan dalam Pasal 5
yang berbunyi:
(1) Nama
Yayasan dicatat dalam Daftar Yayasan apabila:
a. Akta pendirian Yayasan telah disahkan
oleh Menteri;
b. Anggaran Dasar Yayasan telah
disesuaikan dengan Undang-Undang dan
penyesuaian tersebut telah diberitahukan
kepada Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang; atau
c.
Akta perubahan Anggaran Dasar yang
memuat perubahan Nama Yayasan telah
disetujui oleh Menteri.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Daftar Yayasan diatur dengan
Peraturan
Menteri.
d. Penutup
Pengalihan harta wakaf menurut pendapat sebagian pengikut Imam malik dan pengikut Imam Syafi’i
tidak boleh dipejual belikan atau ditukarkan atau diubah.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal
larangan menjual harta wakaf hanyalah bagi harta wakaf
yang masih dapat dimanfaatkan suatu kebutuhan. Adapun harta wakaf yang sudah
tua atau hampir tidak dapat dimanfaatkan lagi boleh dijual dan uangnya
dibelikan lagi penggantinya. Sedangkan menukar harta wakaf untuk diwakafkan juga, selain wakaf
masjid, diperbolehkan.
Menurut Imam Syafi’i, harta wakaf selamanya tidak boleh
ditukarkan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, harta benda wakaf dapat ditukar
jika harta wakaf tersebut sudah tidak dapat dikelola sesuai tujuannya atau
karena kemaslahatan umum dan ibadah.
Sedangkan menurut Undang-undang nomor 41 tahun 2004, Pasal 40
dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 bahwa harta benda wakaf tidak
dapat dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, dan
ditukar. Tetapi perubahan status atau penukaran harta wakaf dapat
dilakukan apabila harta wakaf yang telah digunakan untuk kepentingan umum
sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. Serta
untuk keperluan keagamaan.
Perubahan nama atau balik nama Yayasan Asrama
Pelajar Islam (YAPI) menjadi Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam (YAPI)
diperbolehkan tapi dalam proses perubahan nama harus sesuai dengan pedoman yang
ada dalam hukum Islam dan undang-undang yayasan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 63 Tahun 2008 tentang pelaksanaan Undang-undang tentang
Yayasan dalam Pasal 5 Ayat (1) bagian a, b dan c.
Al-Fiqh al-Islami al-Muqarran ma’a
al-Mazahib oleh Fathi al-Duraini (1980).
Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf oleh M. Daud Ali (1988)
Pedoman Praktis Perwakafan oleh Asutarmadi, Muhammad Hadisaputra dan Amidan (1989).
Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf oleh M. Daud Ali (1988)
Pedoman Praktis Perwakafan oleh Asutarmadi, Muhammad Hadisaputra dan Amidan (1989).
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Jilid I.
Dauru al-Waqf fi al-Mujtami’at
al-Islamiyyah oleh Muhammad M. al-Arnaulth (2000).
Al-Mughni wa al-Sarh al-Kabir oleh Ibn Qudamah (1997).
Al-Mughni wa al-Sarh al-Kabir oleh Ibn Qudamah (1997).
Faisal Haq, dkk, Hukum
Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, PT Garuda Buana, Pasuruan.
Ibnu Najim, Al Bahr al
Raiq, Juz V, Dar al Kutub al Arabiyah al Kubra, Mesir.
Idaratu wa Tasmiru Mumtalikatu al-Awkaf
oleh Hasan Abdullah Amin (1989).
Imam al-Bukhary
[w. 256 H.], Shahih al-Bukhary, (Beirut : Dar al-Qalam, 1987), bab al-syuruth,
hadis nomor 2532.
Kamal al-Din
Muhammad ibn ‘Abd. Al-Wahid al-Siwasy, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.), juz VI.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2002 : 1266
Kompilasi Hukum Islam
Louis Ma’luf
al-Yusu’i, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq: 1986).
Majmu’ al-Fatawa Syeikh al-Islam Ahmad
Ibn Taimiah oleh Abdurrahman ibn
Managemen Kelembagaan Wakaf oleh Uswatun
Hasanah (2002).
Wakaf dalam Islam (makalah) oleh M.
Anwar Ibrahim (2002).
Muhammad Amin
ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), juz IV.
Muhammad
Musthafa Tsalabi, al-Ahkam al-Washaya wa al-Awqaf, (Mesir: Dar al-Ta’lif)
Peranan Wakaf dalam mewujudkan
Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan),
(Disertasi) oleh Uswatun Hasanah (1997).
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Yayasan
Permasalahan Wakaf di Indonesia
(Makalah) oleh Dirjen Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji (2003)
Proyek Pemberdayaan Wakaf Dijen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Fikih Wakaf
Satria Efendi,
Problematika Huum Islam Kontemporer, Departemen Agama RI, Jakarta,
Sayyid Ali Fikry, Al
Muamalat al Maddiyyah wa al Adabiyyah, Juz II, Dar al Kuutub al Arabiyyah,
Beirut.
Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf
bang yuz...mau tanya...klau suatu waqaf tidak d sertai tnda tngan smua ahli waris apa waqafnya sah mnrut hukum agama...? dan mnrut hukum negara bgaimana...?
BalasHapus